Mampaps, sudah tahu belum nih berita yang sedang viral mengenai Rancangan Undang-undang (RUU) Ketahanan Keluarga? Pasalnya, RUU ini dikritik banyak pihak yang dianggap terlalu mencampuri urusan pribadi. RUU Ketahanan Keluarga ini diusulkan oleh sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan meski belum disahkan. RUU ini masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas prioritas) 2020.
Mungkin, tujuan dari RUU ini cukup mulia Mampaps agar keluarga Indonesia jauh dari pengaruh buruk yang tidak sesuai dengan nilai, norma, agama, dan Pancasila. Selain itu, serta terhindar dari berbagai penyakit sosial seperti narkoba, seks bebas, penyimpangan seksual, tawuran, pelacuran, hingga korupsi.
Namun, tidak seharusnya peraturan perundang-undangan terlalu menyentuh ranah privasi masyarakat. Apalagi jika berkaitan dengan hak asasi manusia. Lalu, apa saja nih RUU Ketahanan Keluarga yang menjadi kontroversi tersebut? Yuk, simak penjelasannya.
Pasal Kontroversi RUU Ketahanan Keluarga
LGBT dan BDSM Tergolong Penyimpangan Seksual
sumber gambar: www.rebelcircus.com
Nah, Mampaps RUU Ketahanan Keluarga pertama yang menjadi kontroversi mengenai LGBT dan BDSM (bondage and discipline, sadism and masochism) yang termasuk menjadi penyimpangan seksual. LGBT merupakan penyimpangan seksual yang menyukai sesama jenis, sementara BDSM adalah aktivitas seksual yang merujuk pada perbudakan fisik, sadisme, dan masokisme yang dilakukan atas kesepakatan kedua belah pihak.
Dikutip dari kompas.com berikut bunyi aturan dari RUU Ketahanan Keluarga Pasal 85-89:
- Pasal 85 mengatur tentang penanganan krisis keluarga karena penyimpangan seksual. Penyimpangan seksual yang dimaksud dalam Pasal 85, salah satunya adalah homoseksualitas.
- Pasal 85 RUU Ketahanan Keluarga, sadisme dan masokisme didefinisikan sebagai penyimpangan seksual.
- Pasal 86-89, diatur bahwa pelaku penyimpangan seksual wajib dilaporkan atau melaporkan diri ke badan atau lembaga yang ditunjuk pemerintah untuk mendapatkan pengobatan atau perawatan.
Memang sebaiknya penyimpangan sosial ini diatur dalam RUU Ketahanan Keluarga. Namun ada baiknya ranah dalam melakukan hubungan seksual bersama pasangan tidak diatur dalam hal ini.
Baca Juga: Kesalahan Seputar Hubungan Seks yang Sering Dilakukan Mampaps
Donor Sperma dan Sel Telur Bisa Dipidanakan
sumber gambar: www.forbes.com
RUU Ketahanan Keluarga berikutnya yang menjadi kontroversi masyarakat adalah donor sperma dan sel telur. Di mana larangan ini ada di dalam pasal 32, yaitu:
- Ayat 1 : Setiap orang dilarang menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan secara sukarela, menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan.
- Ayat 2 : Setiap orang dilarang membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan.
Dikutip dari kompas.com mengenai isi dari tuntutan bagi mereka yang melakukannya maka akan ada ancaman pidana, sebagaimana dituang di dalam pasal-pasal berikut:
- Pasal 139 mengatur ketentuan pidana bagi pihak-pihak yang disebutkan di dalam Pasal 31 Ayat (1) di mana, mereka yang melakukannya terancam pidana paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500 juta.
- Pasal 31 Ayat (2) terancam hukuman lebih berat sebagaimana diatur pada Pasal 140. Di mana pasal tersebut berisi tentang, mereka yang sengaja melakukannya terancam pidana tujuh tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta.
Dengan begitu RUU Ketahanan Keluarga pada pasal ini tidak mendukung IVF atau program bayi tabung di Indonesia. Padahal, salah satu cara yang biasanya efektif untuk memiliki keturunan adalah dengan cara ini.
Baca Juga: Hendak Melakukan Bayi Tabung? Penting Ketahui Ini Mampaps!
Aturan mengenai kewajiban suami dan istri
sumber gambar: bambiniphoto.sg
Nah, terakhir yang menjadi kontroversial dalam RUU Ketahanan Keluarga ini adalah pasal yang mengatur kewajiban suami dan istri. Dilansir di situs kompas.com ada kewajiban suami dan istri yang harus dipenuhi yang tertuang di pasal 25 ayat 2 dan 3 yang berisi:
Kewajiban istri tertuang dalam RUU Ketahanan Keluarga Pasal 25 Ayat (3), ada tiga kewajiban istri, yaitu:
- Wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
- Menjaga keutuhan keluarga.
- Memperlakukan suami dan anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kewajiban suami tertuang dalam RUU Ketahanan Keluarga Pasal 25 Ayat (2) mengatur empat kewajiban suami, yaitu:
- Sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan dan kesejahteraan keluarga, memberikan keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, dan bertanggung jawab atas legalitas kependudukan keluarga.
- Melindungi keluarga dari diskriminasi, kekejaman, kejahatan, penganiayaan, eksploitasi, penyimpangan seksual, dan penelantaran.
- Melindungi diri dan keluarga dari perjudian, pornografi, pergaulan dan seks bebas, serta penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.
- Melakukan musyawarah dengan seluruh anggota keluarga dalam menangani permasalahan keluarga.
Jika dilihat dari poin-poinnya, memang ada yang kontra akan hal ini! Mengapa? Karena kewajiban suami dan istri seharusnya sama dalam menjaga keutuhan keluarganya untuk mendapatkan hal yang terbaik.
Lalu berbeda pula dengan cuti hamil selama 6 bulan untuk pegawai negeri sipil (PNS), hak tersebut dijamin dalam pasal 29 ayat (1) yang Berbunyi:
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara, badan usaha milik negara (BUMN), dan badan usaha milik daerah (BUMD) wajib memfasilitasi istri yang bekerja di instansi masing-masing untuk mendapatkan:
- Hak cuti melahirkan dan menyusui selama 6 (enam) bulan, tanpa kehilangan haknya atas upah atau gaji dan posisi pekerjaannya;
- Kesempatan untuk menyusui, menyiapkan, dan menyimpan air susu ibu perah (ASIP) selama waktu kerja;
- Fasilitas khusus untuk menyusui di tempat kerja dan di sarana umum; dan
- Fasilitas rumah Pengasuhan Anak yang aman dan nyaman di gedung tempat bekerja.
Pada Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan mengenai cuti hamil diberikan 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan.
Baca Juga: Manajemen Emosi Mama Menghadapi Si Kecil Bersama Dokter Sehat
Meski tidak disebutkan jumlah jatah cuti, bagi laki-laki sebagai pegawai instansi atau badan usaha pemerintah juga mendapatkan cuti saat istri melahirkan, istri atau anak sakit/meninggal. Kewajiban ini diatur di pasal 29 ayat (2). Sementara untuk perempuan pekerja swasta, hak cuti diatur dalam pada pasal 134. Namun tentunya berbeda dengan pegawai pemerintahan.
Lalu bagaimana dengan tanggapan Mampaps mengenai RUU Ketahanan Keluarga ini?